Senin, 24 Agustus 2009

MINANGKABAU DIRANTAU


oleh : HANAFIAH.
Tempo dulu orang Minang merantau bertualang dengan tujuan menuntut ilmu. Ulama memperkaya wawasan dan berdakwah. Sekarang zaman sudah berubah terdesak tuntutan ekonomi yang semakin sulit, orang Minang tumpah ruah pergi ke berbagai pelosok dunia. Kita dapatkan rumah makan dan Restoran Minang (baca Padang), komunitas pedagang disektor riil kita bisa menemukan dunsanak-dunsanak di pasar tradisional dan sampai pengusaha Nasional.
Namun begitu tidak semata maksud merantau orang Minang sekedar mencari materi, maka dalam sebuah pantun terkandung makna yang dalam ;
Karantau madang dihulu, Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu, Dirumah paguno balun

Alun babungo, mengandung makna belum punya kompetensi, wawasan dan ilmu, belum produktif serta perlunya tambahan Iman dan Taqwa,. Oleh karenanya untuk menjadi orang berguna itu diperlukan kriteria sbb :
Isi kepala dengan Ilmu dan Wawasan
Isi dada dengan Iman dan Taqwa
Isi perut sebagai symbol kemakmuran
Mungkin nilai dasar sudah tertanam didaerah asalnya, namun tentu peningkatan yang lebih diperlukan sebagai modal berkompetisi dalam kurun waktu dimasa-masa mendatang. Nantinya disektor manapun orang Minang mampu tampil sebagai pelopor dan pemimpin. Kita tentu tidak boleh larut dalam nostalgia kesuksesan para pendahulu, tetapi mari kita belajar sejarah sukses mereka menjadi yang terbaik, apapun profesi kita, dimanapun kita berada dan dalam usaha bisnis apapun yang digeluti.
Sejak Zaman dulu) sejarah Indonesia diukir oleh tokoh-tokoh Minang setelah mereka merantau. Mari kita lirik sekilas sejarah kesuksesan beliau-beliau antara lain : Dr. M Hatta sebagai Bapak Proklamator sempat belajar di Belanda dan kembali ketanah air sebagai tokoh pelopor kemerdekaan bangsa Indonesia.
H. Agus Salim sukses setelah beliau di Surabaya, Hamka jadi ulama besar setelah berkiprah di Medan, M Natsir mantan Perdana Menteri pendiri DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) setelah di Bandung, M. Yamin setelah ke Batavia (Jakarta), AR.Sutan Mansur di Pekalongan, Sutan Syahrir dan banyak lagi yang lainnya.
Motivasi Merantau
Melalui pesan adat dan agama, orang Minang merantau terpicu dan harus punya sasaran antara lain :
1. Berbekal diri menuju taraf hidup yang lebih baik sejahtera lahir dan batin. Tanah rantau adalah medan kompetisi yang ganas, tapi sekaligus potensi untuk menuai sukses. Bak kato papatah, Kalau takuik dilamun ombak jan barumah ditapi lauik.
2. Tanggungjawab laki-laki di Minangkabau beragam: terhadap keluarga, dunsanak-kamanakan dan kaumnya serta masyarakat di kampung dan nagarinya.
Kaluak paku asam balimbiang
Timpuruang lenggang lenggokkan
Dibao anak rang Saruaso
Anak dipangku, kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Ditenggang sarato jo adaiknyo.
3. Konsep adat materianial di ranah Minang, menggariskan bahwa Pusako Tinggi diwariskan kepada kaum perempuan. Laki-laki sebagai pelindung dan tidak sebagai pemilik. Pusako Tinggi tidak boleh dimakan dalam artian dihabiskan oleh pihak laki2, prinsipnya ia diperuntukkan bagi kemaslahatan kaum dipihak keturunan perempuan. Menurut adat hak laki-laki dikebiri dan kalau ingin mempunyai harta pribadi, misalnya tanah, maka ia harus keluar dari ketergantungan. Dan ini menjadi pemicu bagi laki-laki Minang untuk pergi merantau mencari alternatif lain. Ciri khas mereka dirantau umumnya tidak suka pada jenis usaha/ kegiatan yang menghambat ketergantungan. Usaha yang digeluti lebih banyak ke arah wiraswasta, sehingga ada kesan dinegeri ini bahwa yang bisa menandingi bisnis orang China adalah orang Minang.
4. Firman Allah: ”Fantashiru Fil Ardh” (Bertebaranlah kalian dimuka bumi) menjadi inspirasi juga bagi orang Minang merantau. Sejarah mencatat beberapa jejak langkah dakwah sosok tokoh Minangkabau tempo dulu yaitu :
a. Pertengahan abad XIV satu delegasi Datuk-datuk yang Ulama dibawah pimpinan Dt Rajo Bagindo telah mengembangkan Islam ke Brunai, Serawak dan Mindanao Philipina Selatan.
b. Syekh Ahmad Khatib dari Tanjung Alam Bkt Tinggi menjadi mufti dan Guru Besar di Masjidil Haram Mekkah awal abad XIX.
c. Awal abad XVII Raja Gowa dan Tallo (Makassar) telah mengundang 3 orang datuk dari Minangkabau untuk mengIslamkan rakyatnya, yaitu Datuk Ditiro, Dt. Bandang dan Dt Patimang. (Sumber : Islam dan Adat Minangkabau, HAMKA).
Ciri khas orang Minangkabau setelah dirantau adalah mudah membaur, tidak ekslusif, luwes dalam interaksi sosial. Biasanya banyak menjadi aktivis dakwah, jadi pengurus masjid, lembaga sosial dakwah Islam dan aktivitas sosial kemasyarakatan lainnya.
Berbekal Pituah Adat
Kok jadi anak kapakan
Iyu bali balanak bali
Ikan panjang bali dahulu
Kok jadi anak bajalan
Ibu cari dunsanak cari
Induak samang cari dahulu
Dima bumi dipijak, disinan langik dijunjuang
Bakato dibawah-bawah manyauk diilia-ilia
Awak mandapek urang indak kahilangan
Lamak diawak katuju diurang
Nan tuo dihormati nan ketek disayangi samo gadang baiyo-iyo.

Aset Nagari bukan Marantau Cino
Para perantau diumpamakan sebagai aset nagari, yang jadi tumpuan dan harapan. Setelah harapan terpenuhi sebagai “urang baguno”. Dadolah panuah jo agamo, utak lah sarek jo ilimu, saku lah padek jo harato, baliaklah “pulang” bangun nagari. Pulang dalam hal ini tidak mesti dalam artian pisik. Namun yang dibutuhkan adalah sumbangan materi (spt: gerakan seribu GEBU Minang yang pernah digagas oleh tokoh Minang di perantauan). Gebu Minang adalah berupa sumbangan Rp.1000,- bagi tiap orang Minang dirantau untuk membangun nagari. Gaungnya sudah lama tak terdengar lagi. Sumbangan idea, pemikiran juga merupakan kontribusi untuk membangun Ranah Minang.

Jarang-jarang tugakan jaguang
Nak tampak puyuah balari
Kadang-kadang tinggakan kampuang
Tandonyo sayang kanagari
Kalau orang Minang sudah lupa dengan kampung halamannya, terdengar ratapan kampung :
Kabanda tabang siconcong
Maraok kadalam samak
Patah sayok masuak kasarang
Bak mamaga karambia condong
Ureknyo diladang awak
Buahnyo jatuah kaladang urang

Beberapa Pengaruh Negatif Perantauan
Gaya hidup, karakteristik, pola pikir dan budaya dapat berubah akibat beradaptasi dengan lingkungan dimana kita berada. Setidaknya dapat disimak beberapa pengaruh negatif tersebut antara lain :
1. Dirantau telah terbentuk kehidupan rumah tangga ”Ayah-anak”. Keterikatan ”Mamak kamanakan” nyaris terlupakan. Nantinya mungkin saja bisa terjadi pergeseran nilai dari sistem Matrilineal ke arah Patrilineal.
2. Karakter perantau yang sudah lama bermukim disuatu daerah dan anak keturunan yang sudah besar pula disana akan dapat mempengaruhi gaya hidup masyarakat setempat.
3. Gagasan menjual harta Pusaka Tinggi, karena terpengaruh semaraknya nuansa bisnis dikampung halaman, seperti pembangunan ruko-ruko dan bentuk bisnis yang menjanjikan dengan pola bagi hasil yang tengah melanda wilayah kota-kota besar diperantauan. Gagasan ini berpotensi memicu sengketa harta pusaka .
4. Akibat kurang komunikasi dan silaturrahmi, maka rasa kebersamaan makin menipis, ikatan famili melonggar, raso pareso lah bakurang, sopan jo santun lah talendo.
5. Basa basi dalam bicara sebagai pemanis budi sudah kurang diminati, sekarang orang cenderung bicara to the point. Petatah petitih sudah dianggap gaya bahasa jaman dulu (jadul).
Akankah Minangkabau tinggal nama akibat: ”jalan diasak urang lalu, cupak dipapek rang panggaleh”. Wallahu ’alam bis-shawab.
Untuk lebih mengenal lebih jauh tentang adat istiadat Minangkabau dan postulat : Adat Basandi Sara, Sara Basandi Kitabullah, warga Minang dirantau kiranya perlu memperoleh informasi konsep adat Minangkabau tersebut melalui ceramah pencerahan dan memanfaatkan buletin ini dengan artikel-artikel terkait.
(Disadur dari Berbagai Sumber, oleh : HANAFIAH).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggakan komentar dunsanak di formulir nangko