Rabu, 15 Agustus 2012

Fatwa Ramadhan: Bolehkah Mengeluarkan Zakat Fitrah dengan Uang?


Eramuslim.com | Media Islam Rujukan, Berikut kami sarikan  fatwa Syaikh ‘Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz selaku Ketua Umum Dewan Pengurus Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Pembimbingan Kerajaan Saudi Arabia (Ro’is Al ‘Aam Li-idarot Al Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’ wad Da’wah wal Irsyad).

Alhamdulillahi robbil ‘alamin wa shallallahu wa sallam ‘ala ‘abdihi wa rosulihi Muhammad wa ‘ala alihi wa ashhabihi ajma’in. Wa ba’du:

Beberapa saudara kami pernah menanyakan kepada kami mengenai hukum membayar zakat fitri dengan uang.

Jawabannya: Tidak ragu lagi bagi setiap muslim yang diberi pengetahuan bahwa rukun Islam yang paling penting dari agama yang hanif (lurus) ini adalah syahadat ‘Laa ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah‘. Konsekuensi dari syahadat laa ilaha illallah ini adalah seseorang harus menyembah Allah semata. Konsekuensi dari syahadat Muhammad adalah Rasul-Nya yaitu seseorang hendaklah menyembah Allah hanya dengan menggunakan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Telah kita ketahui bersama) bahwa zakat fitri adalah ibadah berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Dan hukum asal ibadah adalah tauqifi (harus berlandaskan dalil).  Oleh karena itu, setiap orang hanya diperbolehkan melaksanakan suatu ibadah dengan menggunakan syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah telah mengatakan mengenai Nabi-Nya ini,

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm [53]: 3-4)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Dalam riwayat Muslim, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan mengenai penunaian zakat fitri -sebagaimana terdapat dalam hadits yang shahih- yaitu ditunaikan dengan 1 sho’ bahan makanan, kurma, gandum, kismis, atau keju. Bukhari dan Muslim -rahimahumallah- meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma-, beliau berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri berupa satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikan zakat ini sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat ‘ied.” (HR. Bukhari no. 1503)

Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ

“Dahulu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami menunaikan zakat fitri berupa 1 sho’ bahan makanan, 1 sho’ kurma, 1 sho’ gandum atau 1 sho’ kismis.” (HR. Bukhari no. 1437 dan Muslim no. 985)

Dalam riwayat lain dari Bukhari no. 1506 dan Muslim no. 985 disebutkan,

أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ

“Atau 1 sho’ keju.”

Inilah hadits yang disepakati keshahihannya dan beginilah sunnah (ajaran) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menunaikan zakat fitri. Telah kita ketahui pula bahwa ketika pensyariatan dan dikeluarkannya zakat fitri ini sudah ada mata uang dinar dan dirham di tengah kaum muslimin -khususnya penduduk Madinah (tempat domisili Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -pen)-. Namun, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kedua mata uang ini dalam zakat fitri. Seandainya mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fitri, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fitri dengan uang, tentu para sahabat -radhiyallahu ‘anhum- akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fitri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara mereka yang membayar zakat fitri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita).

Allah ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)

Allah ta’ala juga berfirman,

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah [9]: 100)

Dari penjelasan kami di atas, maka jelaslah bagi orang yang mengenal kebenaran bahwa menunaikan zakat fitri dengan uang tidak diperbolehkan dan tidak sah karena hal ini telah menyelisihi berbagai dalil yang telah kami sebutkan. Aku memohon kepada Allah agar memberi taufik kepada kita dan seluruh kaum muslimin untuk memahami agamanya, agar tetap teguh dalam agama ini, dan waspada terhadap berbagai perkara yang menyelisihi syariat Islam. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211)

Peringatan: Melalui penjelasan di atas kami rasa sudah cukup jelas bahwa pembayaran zakat fitri dengan uang tidaklah tepat. Inilah pendapat mayoritas ulama termasuk mazhab Syafi’iyah yang dianut oleh kaum muslimin Indonesia. An Nawawi mengatakan, “Mayoritas pakar fikih tidak membolehkan membayar zakat fitri dengan qimah (dicocokkan dengan harganya), yang membolehkan hal ini hanyalah Abu Hanifah.” (Syarh Muslim, 3/417). Namun, sayangnya kaum muslimin Indonesia yang mengaku bermazhab Syafi’i menyelisihi imam mereka dalam masalah ini. Malah dalam zakat fitri, mereka manut mazhab Abu Hanifah. Ternyata dalam masalah ini, kaum muslimin Indonesia tidaklah konsisten dalam bermazhab.

Kami hanya bisa menghimbau kepada saudara-saudara kami selaku Badan Pengurus Zakat agar betul-betul memperhatikan hal ini. Tidakkah kita merindukan syi’ar Islam mengenai zakat ini nampak? Dahulu, di malam hari Idul Fitri, banyak kaum muslimin berbondong-bondong datang ke masjid-masjid dengan menggotong beras. Namun, syiar ini sudah hilang karena tergantikan dengan uang. Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memudahkan mereka mengikuti syariat-Nya. (Perkataan Nabi Syu’aib): “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan.’

***

Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

KH Kholil Ridwan: Haram Umat Islam Dipimpin Orang Kafir


Eramuslim.com | Media Islam Rujukan, Pernyataan Ketua PB NU, KH said Agil Siraj bahwa sama sekali tidak ada masalah latar belakang keagamaan seorang pemimpin. Terlebih salah satu kalimatnya disebutkan bahwa keadilan bersama non muslim itu lebih baik daripada ketidak adilan bersama muslim.

Keruan saja pernyataan ini mengundang reaksi keras dari kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Hal lain yang mengundang kontroversi adalah, sikap Said Agil yang mengatakan, dengan mengutip kaidah Fiqih Ibnu Taimiyah yang dalam kitab Siyasah Syar'iyah menyatakan, kalau orang yang adil meski non muslim yang memimpin, maka orang Islam itu pasti mendapatkan keadilan pula.

Sebaliknya, jika ada pemimpin beragama Islam yang zalim, maka orang Islam sekalipun akan dizalimi. "Tidak banyak kyai atau tokoh yang berani ngomong ini, tapi kalau saya berani. Berdasarkan kaidah tersebut, pasangan Jokowi-Ahok tidak bermasalah di mata NU Silahkan saja menang, bagi NU tidak ada masalah," tegas KH Said Agil Siraj di kantor PBNU, pekan lalu.

Terkait hal tersebut, Ketua MUI, KH Kholil Ridwan, mengatakan, dalam sejarahnya, Jakarta didirikan oleh Fatahilah, seorang ulama besar yang berhasil menumpas tentara Portugis, dalam hal ini kalangan nasrani atau yahudi.

Dengan demikian, berdirinya kota Jakarta, yang dahulu dinamai Jayakarta dan Sunda Kelapa.

"Atas dasar itulah, Jakarta ini sebenarnya warisan atau amanah dari seorang ulama besar yang berhasil mengalahkan kolonial Portugis. Dengan begitu, umat Islam di Jakarta ini wajib mempertahankan agar pemimpin Jakarta ini tidak jatuh ke tangan non muslim," tukasnya, Selasa (14/8).

Menurutnya, umat Islam di Jakarta jumlahnya mayoritas dibanding umat-umat lainnya. Dengan begitu, jika umat tersebut beriman maka tidak baik untuk memilih seorang non muslim.

Jakarta idealnya dipimpin oleh seorang muslim. Sebab sejatinya seorang muslim ini tidak hanya memimpin di dalam masjid, akan tetapi di luar masjid pun harus jadi pemimpin.

"Bahkan secara pribadi saya katakan bahwa haram hukumnya kalau orang muslim ini memilih pemimpin dari kalangan non muslim, kalau masih ada pilihan dari kaum muslim," tegasnya.

Hal ini sesuai dengan salah satu ayat Quran yang menyebutkan, dilarang orang muslim itu memilih orang-orang kafir untuk menjadi pimpinannya. Padahal, saat itu masih ada orang muslim yang siap menjadi pemimpin.

Ia sendiri sebagai orang muslim, menolak untuk dipimpin oleh orang-orang kafir. Sebab haram hukumnya. Sayangnya ia tak menyebutkan surat dan ayat Al Quran yang dimaksudnya itu.

Ia juga menyebut, orang muslim belum tentu soleh, sehingga bagaimana dengan orang-orang kafir, tentu sangat dipertanyakan kesolehannya. Padahal Allah SWT mengamanatkan bahwa bumi ini sebaiknya dipimpin oleh hamba-hamba Nya yang soleh.

Kemudian, bicara mengenai seorang pemimpin zalim, kata KH Kholil Ridwan, sejauh ini Fauzi Bowo bukanlah seorang pemimpin yang zalim. Sehingga layak untuk dipilih oleh orang-orang muslim yang mayoritas berada di DKI Jakarta.(fq/inilah)