Senin, 24 Agustus 2009

MINANGKABAU BAA KO KINI

Saya termasuk orang yang senang mendengar lagu saluang, lagu yang didendangkan banyak membawa pesan kepada yang mendenganrnya. Ada beberapa pantun yang sering didendangkan, lirik pantun ini saya kira cocok dengan realita atau keadaan kampung kita saat ini :

Urang sariak ka Mandiangi
kaparak pai marambah
marambah dalam baluka
O,adiak antakan nasi

Lah tabaliak kini tapi kain
Corak lah banyak nan barubah.
Zaman jo maso lah batuka,
O, dunia baa ko kini.

Kayu jati ditangah padang. ,
Lah lamo kayu tak badahan
Elok ditupang nan jan patah

Adat sajati nan lah hilang
Agamo tingga di Kuraan.
Adat lah tingga di patatah.

Nak duo pantun sairiang.

Sabab bakarano mangkonyo dapek
Indak dijua latakkan sajo,
Ditanam dipupuak tiok hari

Bak santano kain balipek,
Tampak dilua rancak juo,
Didalam lah tabuak tiok ragi

Diulak kato nan lamo,
Pati ameh cewang ka langik
Jikok dibakak sitambo lamo
Hari paneh alang bakulik.

Bila di inab di renungkan, kita simak bait demi bait isi pantun diatas, sungguh miris kita mendengarnya, dengan kata kiasan dan sindiran yang demikian, situkang dendang dapat mewakili kita semua yang memang sudah risau dengan keadaan atau kejadian-kejadian dan peristiwa yang terjadi dimasyarakat kita, khususnya orang Minang..

Zaman memang sudah berubah, masa pun terus beredar. Banyak cerita yang kita dengar, banyak pula yang kita lihat, saat sekarang ini sudah terjadi pergeseran nilai adat dan budaya yang selama ini menjadi kebanggaan kita sebagai anak Minang. Pantun si tukang dendang itu sangat tepat dengan realita sekarang ini, “lah tabaliak kini tapi kain, corak lah banyak nan barubah”, artinya sekarang ini terjadi suatu pergeseran nilai budaya Minangkabau’ nilai-nilai itu sudah mulai tercabut satu demi satu.

Kok, io lah masa sudah berubah, era datang silih berganti, tapi nan sabinjek perlu kita pertahankan yaitu ; raso pariso, untuk mempertahankan ini dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain :

pertama: gairahkan kembali raso basuku, dan raso banagari, di nagarilah kita hidup bakorong bakampuang, baipa babesan, basumando manyubando, basoko bapusako, inilah cirri khas tatanan masyarakat Minangkabau.

kedua : perdalam ilmu agama, datangi pengagajian dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari, canangkan kembali, babaliaklah ka surau, yang selama ini sudah terasa ditinggalkan.

“Syara’ bakato, adat mamakai, sudah hampir kita tinggalkan pantaslah situkang dendang menjadi risau dalam pantunnya “agamolah tingga di kuraan, adat lah tingga di patatah”.
Suku-suku lain diluar Minang memang memuji tatanan kemasyarakatan orang Minang, kagum dengan filsafat “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi kitabullah”. tapi bagaimana realitanya sekarang ini ?, rahasia inilah yang dicurahkan oleh situkang dendang seperti bait pantunnya diatas : “bak santano kain balipek, tampak dilua rancak juo, didalam lah tabuak tiok ragi”. menetes air mata kita mendengarnya.Nah ! sekarang bagaimana lagi, kalaulah kita “curah papahkan” semua isi hati kita saat ini tentu tak cukup dengan waktu dan keadaan. Untunglah situkang dendang mencarikan jalan keluarnya, apa bunyi pantunnya : “ jikok dibukak sitambo lamo, hari paneh alang bakulik”.
artinya, kembalilah kita kepada “adat nan kewi, syara’ nan lazim”. Itulah resistansi yang bisa kita pakai untuk membendung derasnya arus globalisasi yang sedang melanda masyrakat kita saat ini.
Kita memang sadar ! orang bijak mengatakan : tak ada yang abadi didunia ini, yang abadi adalah perubahan itu sendiri.
Nenek moyang kita telah menitipkan guru kepada kita yaitu : alam. Pepatah adat berbunyi :
Panakiek pisau sirawik, ambiak galah batang lintabuang, salodang ambiak kaniru.
Nan satitak jadikan lawik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadikan guru.
IQRA’. Kata  Al Quran.
Peletak dasar adat Minangkabau  dengan arif sudah  membagi adat menjadi empat  :
·                    Adat nan sabana adat
·                    Adat nan diadatkan
·                    Adat istiadat
·                    Adat teradat
 “Adat nan sabana adat “  adalah  sunnatullah, adat air membasahi, adat api menghaguskan, kebukit  sama mendaki, ke lurah sama menurun, melompat sama patah, menyeruduk sama bungkuk.
 “ Adat nan diadatkan” adalah merupakan buah pemikiran dari Dt. Perpatiaeh nan Sabatang dan Dt. Ketemanggungan, dari niniak turun ka mamak dari mamak turung ka kamanakan , basoko jo pusako, bakorong jo kampuang, ba adat balimbago,  itulah adat nan kewi,  yang kita kenal dengan system matrilineal.  Nan indak  lakang dek  paneh, indak lapuak dek hujan.
Sedangkan “adat istiadat” dan “ adat teradat”, dikatakan adat yang berbuhul sintak, dapat berubah sesuai dengan zamannya menurut kesepakatan bersama. Dalam fatwa adat dikatakan : Sakali aie gadang, sakali tapian barubah.
Nah, tinggal kita lihat sekarang, nilai adat mana yang sudah bergeser, dan kemana bergesernya , aie gadang tidak setiap saat, waktu datangnya pasti berubah, tapi yang namanya tapian tetap dipinggir air, tak mungkin di tengah padang. Disinilah dituntut konsistensi orang Minang untuk mempertahankan nilai budayanya, kapanpun air gadang (banjir) itu datangnya yang namanya tapian (nilai dasar) tetap dipinggir kali (tidak berubah).
Sekarang timbul pertanyaan, mengapa orang Minangkabau sangat peduli terhadap nilai budayanya dan perlu aktualisasi dimasa yang akan datang ?. Jawabnya adalah  karena kita dihadapkan pada suatu tantangan, dan tantangan itu harus kita jawab dengan mempertahankan dan mengukuhkan nilai-nilai yang ada pada kita, kita jawab dengan fatwa adat “sawah lah bapamatang, ladang lah bamintalak” kita tahu sampai dimana batas-batas nilai itu, kebebasan untuk menentukan itu ada sama kita, “kok usang kito pabaharui, kok lapuak kito kajangi, kok singkek di uleh,kok sengteng dibilai”
Tantangan yang paling berat kita hadapi sekarang ini adalah datangnya era globalisasi, penyebabnya adalah karena kemajuan teknologi, dunia sekarang ini terasa makin mengecil, hanya sebesar daun marunggai (kelor), disisi lain sangat menguntungkan tapi disisi lain juga merugikan, kedatangannya tidak bisa kita bendung, usaha kita hanya memperkuat daya tahan terhadap dampak yang ditimbulkannya. Salah satu caranya adalah  konsistenlah kita memegang falsafah adat : Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. 
Harapanbaru, 21 Desember  2008
Eddy Has, Dt. Bosa nan Hitan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggakan komentar dunsanak di formulir nangko